Monday, April 5, 2010

Akhir Untuk Sebuah Awalan

Kamu tahu? Semua terasa berbeda. Tak ada lagi air mata yang bergulir pelan-pelan dari kedua pipi. Semuanya terasa lapang. Ikhlas. Tanpa berat beban yang biasanya begitu menyesakkan hingga ke ubun-ubun. Kulihat dirinya berhenti sejenak.

“Ayo, tengok ke sini, sayang. Tengok aku lagi. Usah kamu pergi…” Harapku dalam hati, menjadi egois sesaat.

Tapi tidak. Awan ragu hanya menyelimutinya sejenak, lalu ia kembali meneruskan langkahnya menuju ke sana. Menuju wanita yang sedang berdiri di dekat kereta, menunggu dengan hati cemas. Pasti ia merasa seperti yang kurasakan. Cemas dengan hati dipenuhi rasa khawatir kalau-kalau kekasihnya itu akan berbalik badan dan lari ke dalam pelukanku lagi. Aku tahu rasanya. Karena aku wanita juga. Ya, yang dulu-dulu lagi. Kembali sendiri. Tanpa ada pelukan hangat di kala malam dingin menusuk kalbu. Tiada lagi derai tawa yang begitu lepas mengenai hal-hal yang tak penting. Hah! Semua bilang betapa tak berartinya semua itu. Padahal, omongan ringan mengenai si gembul yang biasa membeli bakso 3 mangkok jauh lebih penting daripada semua omong kosong politik yang digembar gemborkan sekarang ini. Senyum manis, dengan lesung pipi di sebelah kirinya lah yang membuat hati beku milikku ini bisa kembali lumer.

Dulu… semua begitu indah. Mungkin hati ini sudah mati rasa. Terlalu sering melepas cinta yang lewat, tanpa ada niat dari mereka untuk membiarkannya berdiam lama di hati ini. Semua hanya berhenti sejenak, agar kuresap semua sari patinya, dan ketika sudah hendak mencapai kenikmatan, kembali terlepas. Sengaja atau tak sengaja. terserah. Yang pasti, semuanya bukan milikku. TAK SATU PUN! Sempat terbersit dalam hati seandainya mereka semua sudah berjanji satu dengan yang lain untuk memusuhi hatiku ini. Kompak untuk mencapai satu tujuan.“Hancurkan hatinya!”Tak lihat ya? Berkat mereka, hatiku ini ibarat barang pecah belah yang sudah direkat sana sini dengan tambalan seadanya. Memang sudah tak sempurna. Sudah jelas, dan semua tahu itu.

Ia menghampiri wanitanya, berpelukan mesra di depanku, dan bergandengan tangan menaiki kereta menuju provinsi lain berjarak ratusan kilometer.“Berbahagialah, sayang. Dia pasti bisa membahagiakanmu,” batinku.Pasrah, ikhlas. Kulihat kereta mulai berjalan meninggalkanku seorang diri. Lalu lalang sekitar tak terasa sama sekali. Sendiri, di tengah keramaian. Lagi-lagi perasaan yang sudah tak awam lagi. Untuk terakhir kalinya kuperhatikan kereta menjauh. Kutersenyum. Hidup. Begitu menyakitkan. Begitu menyenangkan.

No comments:

Post a Comment