“Hujan mulai turun,” ujarmu tanpa menolehkan kepala.
Dari sudut mata bisa kulihat ia masih menerawang. Mengejar angan yang telah hancur dan sadar bahwa hampir tak mungkin untuk kemudian disatukan kembali. Ku tak menjawab dan membiarkan tubuh disejukkan oleh tetesan dari surga. Ia juga bergeming.
“Jadi, kamu memilih… dia?” tanyamu sekali lagi.
Sambil sedikit menggigil, kujawab, “Tak tahu. Sungguh. Yang aku tahu, hatiku tak menentu jika berdekatan dengannya, keringat dingin mengucur tak mampu kubendung, dan semua terlihat penuh warna. Rasa yang asing namun nyaman. Seandainya aku punya jawaban pasti, akan aku katakan sedari tadi,” ku terdiam sesaat dan melanjutkan, “maafkan aku.”
Lagi-lagi sunyi merangkak dari tiap sudut. Basah, dengan pakaian menempel lekat di tubuh. Merasa sudah cukup meredakan emosi, hujan perlahan mulai berhenti. Masih duduk di bangku taman, sayup-sayup ku mendengar suara memanggil namaku. “Kirana… Kirana.” Bingung, ku lihat ke kanan dan kiri, namun tak berhasil menemukan sumber suara. Kutengok lagi, ia masih saja duduk terpaku di ujung bangku, diam seribu bahasa. Lagi-lagi kudengar teriakan yang menyebut namaku berkali-kali. Suaranya begitu menenangkan bak nyanyian sebelum tidur. Suara yang membuat hatiku berdegup tak menentu. Suara yang berhasil membuatku terbang ke langit ke tujuh. Suara yang membuatku meninggalkan segalanya.
“Bangun, sayang,”ujar suara itu. Dan dalam hitungan detik, tubuh rasanya ditarik dari dunia mimpi menuju realita. Mengerjap, kubuka mata pelan-pelan sambil merasakan sebuah kecupan hangat mendarat di pipi kanan.
Dan dia di sana. Wajahnya begitu dekat; bisa kurasakan hembusan napasnya serta degup jantungnya berdenyut di kulitku. Ia tersenyum. Mimpi tadi, jadi tak berarti lagi.
(April,21st, 2009)
No comments:
Post a Comment