Sunday, September 26, 2010

Seimbang

Ia beranjak dari tempat tidur. Pelan-pelan ia bangun dan berjingkat ke kamar mandi, tak ingin pasangannya yang masih pulas itu terganggu. Ia basuh wajahnya dan memandang bayangan yang ia lihat di cermin. "Siapa orang ini sebenarnya? Apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup?" Pertanyaan yang tak pernah ia bisa jawab. Kalaupun ada jawaban, sama sekali hasilnya tak memuaskan. Apa? Nama? Tanggal lahir? Identitas? Semuanya sudah  tak ada artinya lagi. Untuk apa? Hanya sekadar bersalaman dan menyebut nama? Lalu apa? Itu saja? Ia lihat sekeliling. Semuanya ia peroleh dengan mudah. Tanpa jerih payah yang berarti; dengan hanya sejentik jari dan menyebut nama belakang yang sudah ia sandang semenjak lahir, ia akan mendapat perlakuan luar biasa. Hal-hal yang mayoritas orang lain peroleh dengan perjuangan keras dan mengais sana-sini. Itu gampang! Semua sudah didapat... lalu apa? Apa yang sebenarnya ia inginkan? Apa  tantangannya?
Bah... untung saja kegiatannya di akhir pekan bisa meredakan semua kegilaan yang ada dalam hidup. Setidaknya ada penyeimbang. Yang istrinya tahu, ia pergi main golf atau bertemu klien, menteri, atau siapa saja lah orang-orang yang berlaga penting itu. Muak sebenarnya mendengar bagaimana perilaku mereka di dunia nyata dengan yang mereka ungkapkan di media masaa. Benar, muak! Masih tak habis pikir bagaimana mereka semua bisa tidur pulas di malam hari dengar harta dan hak orang lain digenggam erat seperti itu.

Namun, ada satu keyakinan dalam dirinya bahwa ada manusia waras di luar sana yang masih memikirkan orang lain. Bahwa ada hati nurani yang tergetar dan tergugah dengan penderitaan orang lain. Bahwa... masih ada kebaikan. Dan tak ada yang lebih baik untuk mengetahuinya selain dengan jadi pengamen di dalam bus yang panas, pekat, serta penuh peluh. Tempat ia mencari keseimbangan dalam setahun belakangan ini. Anda kenal? Si Petot julukannya.Cari saja di terminal Lebak Bulus.

No comments:

Post a Comment