Saturday, October 6, 2012

Makna Kata

"Kirana. Nama yang cantik, persis seperti yang punya." 

Ia ucapkan dengan pelan, dihias sekulum senyum yang memabukkan sambil menatapku tajam, langsung menohok hingga ke lubuk hati terdalam. Iya, aku tahu. Pria seperti ini... spesies yang seperti ini memang seharusnya dilempar saja ke laut sebagai santapan hiu-hiu lapar, demi keutuhan hati para wanita di luar sana, termasuk aku. Tapi entah kenapa, astagaa! Entah kenapa aku hanya tersipu dengan pipi bersemu sebagai reaksi tak perlu akan "pujiannya" itu. 

Kirana paham betul pria macam apa yang sedang berada di hadapannya ini sekarang. Tidak, untuk dibilang tampan layaknya model juga tidak. Tapi cara ia melempar kata-kata... teknik ia menarik sudut bibirnya sebelum tersenyum... bagaimana sinar di kedua bola matanya konstan menyihir lawan bicara. Ia punya karisma. Seonggok karisma yang ia umpankan ke segala pelosok dunia tempat para wanita berada. Aura yang terpancar nyata di balik kemeja putih dan celana jeans belelnya. Oh, Tuhan sudah berkali-kali aku terperosok lubang yang sengaja digali oleh pria-pria macam ini. Dan betapa aku selalu jatuh, bahkan terjun bebas ke dalamnya. Sukarela untuk dihancurkan berkeping-keping.

Tidak. Tidak lagi. Sudah cukup! Ayo, kuatkan hatimu, Kirana. Kuatkan. Kamu sudah tahu reputasi yang dimiliki pria ini. Bahkan buaya saja dibuat malu seumur hidup karena namanya digunakan untuk menjabarkan   jenis pria macam ini!

 "Saya ke sini hanya untuk mewakili Dara, karena dia sahabatku. Tak kurang, tak lebih. Ia titipkan ini untukmu," ujarku sambil menyodorkan amplop putih yang isinya ditulis Dara semalam suntuk sambil berlinang air mata. Kirana tak tega melihat hati teman satu rumahnya tercabik seperti itu. Apalagi setelah mendengar kisah mengenai "si pria baik hati" yang mengisi hari-hari Dara selama dua bulan Kirana pergi short course ke Singapura. Tanpa tahu apa yang akan menimpanya, Kirana menyodorkan diri untuk memberikan surat tersebut pada si sosok Dimas ini, yang konon selalu berada di Black Cafe tiap jam tiga sore. 

"Cappucino?"

"Tidak. Terima kasih."

"Sebentar saya ambilkan." 

Dan ia pun beranjak dari kursinya. Kirana hanya mengamati sosok tersebut berjalan menjauhinya dengan perasaan jengkel. Canggung karena berdiri lama, ia pun memutuskan untuk duduk sejenak, mengamati para pengunjung kafe lainnya. Sepi. Hanya ada sepasang pria dan wanita yang sedang asyik mengobrol, sambil sesekali berpegangan tangan. Pasti pasangan baru. Aroma cinta di antara mereka begitu tercium mengalahkan semerbaknya kopi giling. Kirana pun mengalihkan perhatian pada tas yang ada pada kursi di sampingnya. Tampak diselipkan secara sembarang sampul CD band The Cure, kelompok musik kesukaan Kirana sepanjang masa. 

"Cappucino panas." Lagi-lagi Dimas ucapkan kalimatnya sambil diiringi senyum naif, manis tanpa dosa. Cepat-cepat Kirana mengatur posisi duduknya, tak lagi condong mengarah ke tas milik Dimas. Diletakkannya cappucino persis di hadapan Kirana lalu ia menarik kursi dan duduk persis di sampingnya.

Jarak yang cukup dekat membuat Kirana makin tak berdaya. Ia bisa rasakan embusan napasnya. Hangat. Dan intim.

"Saya tidak akan lama. Ini, ambil suratnya."

"Favorit saya Mint Car. Liriknya benar-benar luar biasa. Never guess it got this good, wondered if it ever could..." ujar Dimas sambil bersenandung kecil, benar-benar tak menggubris ucapannya barusan. Dan benar-benar bisa membaca pikiran Kirana akan lagu favorit dari semua lagu ciptaan Robert Smith.

Dua cangkir cappucino dan sepiring calamari kemudian, Kirana sudah terlibat percakapan seru dengan Dimas. Mengalahi pasangan di pojok sana yang sudah pergi entah dari kapan. Selama itu juga, Kirana hanya terpana dan terpana. Akan percakapan mereka. Akan isi percakapan mereka yang terus bergulir layaknya dua orang yang telah saling kenal selama 10 tahun, bukan 10 menit. "Say it will always be like this, the two of us together. It will always be like this. Forever and ever and ever!"


"Sudah?"

"Iya, sudah. Ia ambil suratmu dan langsung pergi. Katanya akan mengajar kelas kuliah sore, jadi ia buru-buru."      

Tanpa menatap mata Dara sedikitpun, Kirana berjalan santai menuju kamarnya dan menutup pintu pelan-pelan. Ia buka amplop pemberian Dara kemarin. Sebuah surat berisi penyesalan Dara karena menuduh Dimas selingkuh hingga mereka putus. Serangkai kalimat tentang Dara mengajak Dimas untuk kembali ke pelukannya. Ia buka laci meja dan hati-hati menaruh amplop putih tersebut ke dalamnya dan mengunci rapat-rapat.  

Ia buka lemari pakaian, bersiap diri untuk pergi kencan dengan Dimas, serta bersiap hati dan kembali jatuh untuk keseribu kalinya. Demi sebuah percakapan terbaik yang pernah ia alami selama hidupnya.  
  

No comments:

Post a Comment