Saturday, April 3, 2010

Berani. Harus

Semua ini seharusnya mudah. Tanpa perlu bertele-tele, tidak harus ada embel-embel apapun. Betul, segampang itu saja.. seharusnya. Ada pilihan, tiba di persimpangan jalan, dan memilih. Ya, sesimpel itu. Tapi namanya juga manusia, semuanya harus dipertimbangkan masak-masak. Semuanya mesti dipikirkan dalam-dalam. Konsekuensinya, yang baik ataupun yang tidak. Semuanya jadi bahan pertimbangan. Setelah memilih, baru kemudian tahu apakah arah yang dijalaninya itu sesuai dengan yang diinginkan. “Ah, ternyata ini bukan jalan pintas menuju rumah. Seharusnya yang tadi.” Well, yeah.. itu risikonya yang harus ditempuh. Jalanin saja semuanya seperti yang seharusnya. Toh sudah dipilih, sudah diputuskan. Iya, kan? Mungkin jalan menuju rumah jadi lebih berliku, jadi lebih jauh, jadi menemukan monster jahat dibandingkan jalan lurus tadi.

Tapi nanti… suatu hari nanti, langkah akan menuju rumah. Yang diinginkan, yang diidam-idamkan. Memangnya kalau lewat jalan pintas tadi, kamu jadi tahu bagaimana cara melawan monster atau keahlian untuk menghadang ranting yang menghambat? Tidak, kan? Sesampainya di rumah, kamu jadi lebih lebih kaya. Jadi lebih bijak, jadi sosok yang lebih baik. Kamu bisa duduk santai, dan mengenang kembali jalan yang sulit dan berliku tadi.Lewat jalan lurus, mungkin kamu bisa sampai rumah lebih cepat dan menikmati semua yang tersedia. Tapi jadinya kosong, tak ada pengalaman, tak ada yang bisa dikenang.

Jalan lurus, atau berliku? Yang mana saja, bisa kamu pilih sesuai dengan niat awal menjalani hidup. Saya kadang mengutuk juga bersyukur menjadi seseorang yang impulsif. Otak tak banyak dipakai untuk menimbang baik-buruknya. Alhasil, sering kali saya jalan dengan langkah mantap menuju jalur yang saya pilih. Hasilnya? Ya, banyak sekali likunya. Banyak sekali rantingnya. Tak terkira jumlah monster yang mesti dihadapi! Semua membuat saya belajar, semua bikin saya lebih baik dari diri saya yang mungkin, seorang sosok pemikir dan selalu menimbang-nimbang. Kalau seperti itu, saya jadi takut untuk menjalani hidup. Saya tak mau jadi orang seperti itu. Teman pernah bilang, orang yang berani itu bukan yang mengakhiri hidupnya. Tapi mereka yang berani hidup untuk menjalani hidup. Benar sekali

Tapi kini saya sepertinya harus mengurangi kadar impulsif tersebut. Bukan karena apa-apa. Kaki sudah mulai letih, tubuh sudah mulai lunglai; kurang kuat untuk melawan monster tadi. Lelah, capai. mungkin kini saatnya saya duduk manis, menikmati segelas air dingin untuk menghilangkan dahaga. Menutup mata, bisa terlihat dii benak dan pikiran rumah idaman saya tersebut, ah begitu indah. Sebuah impian, sebuah andai-andai. Di situ, saya merasa punya harapan, punya cita-cita. Dari situ, saya bisa kemudian bangkit untuk segera berjalan mencapai rumah. Tidak, saya tidak akan lari. Sekeliling saya begitu indah untuk dilewati, untuk kemudian jadi memori indah yang bisa dikenang kemudian hari. Lebih baik berjalan santai, melawan kerikil yang kadang bandel, menaiki bukit yang terjal, hingga jalan setapak dengan pencahayaan minim. Semua saya ambil, semua saya jalani. Ini kan jalan yang sudah saya pilih. Saya terima semua risikonya… saya hanya berharap, kalau rumah tersebut tetap ada dan menanti kedatangan saya, menunggu dengan indahnya.

Semoga.kuat.untuk.melawan.semoga.kuat.untuk.berjalan.kembali. Harus.Kuat!

No comments:

Post a Comment