Sunday, April 4, 2010

Hilang

Tanpa kata, kamu berbicara. Jauh lebih nyata dari seharusnya. Lihat saja. tak ada lagi kerlip yang bergembira lagi di sana. Sayu, sedih, tak lagi bernyawa.

"Apakah janji dulu tak lagi bermakna?", tanyaku pelan.

Lagi-lagi jawaban yang kamu beri hanya diam. Langitpun mengerti dengan sendirinya. Kelam, mendung, persis seperti hatimu yang sedang muram.

"Itu dulu, lain dengan sekarang," ujarmu sambil menunduk dan memainkan jari-jari tangan. Lalu kamu gigit ujung kuku jari manismu. Sebuah kebiasaan yang kamu lakukan jika sedang gugup. Pria yang duduk di hadapanku ini kini tampak asing. Ku tak lagi mengenalnya. Kuyu, tanpa lagi canda yang biasa terlontar dari balik senyumnya. Semuanya meredup. Meredup untukku, tapi merekah untuk wanita itu. Tak bernyawa untukku, tapi penuh kehidupan untuknya! Semua yang pernah terjadi sudah tak berarti lagi, meleleh terbakar cintanya untuk wanita itu. Dulu aku pikir hidup dengannya bak dongeng, ternyata keabadian lah yang jadi dongeng. Hanya terjadi pada cerita picisan yang memberi harapan palsu.

Harapan. Semua musnah berkeping-keping. "Baiklah. Jika memang kamu yakin wanita itu bisa membahagiakanmu. Bisa memberikan semua yang kamu inginkan. Aku rela. Pasrah. Ikhlas," ujarku sambil memalingkan muka, tak ingin air mata yang bergulir makin memperburuk keadaan.

"Aku antar kamu pulang?" tanyamu, penuh rasa bersalah.

"Tak perlu. Aku bisa sendiri." ujarku lugas, sambil mendorong kedua roda dari kursi ini menjauh; kursi yang telah setia menopangku sejak kecelakaan setahun yang lalu. Ia tak tahu, aku timpang dan goyah bukan karena kehilangan dua tungkai yang pernah menopang tubuhku. Aku timpang dan goyah karena telah kehilangan pasangan hidupku.

No comments:

Post a Comment