Hanya selang dua bulan dari perjalanan ke Aceh, kami pun beranjak menuju
Sulawesi Selatan. Tepatnya pada 22-27 Januari 2013. Lagi-lagi ini terjadi karena
impulsif berlebihan melihat tiket pesawat Garuda Indonesia yang lumayan murah,
sekitar Rp1 juta pp per orang. Serunya kami tidak sendiri, tapi ditemani
sahabat saya kuliah beserta err, hmm.. temannya.
Jalan-jalan kami ini akan saya bagi menjadi dua babak ya: Tanjung Bira yang terkenal dengan pasir tepungnya dan sekitaran Makassar. Mari mulai!
Makassar (Ujung Pandang) –
Tanjung Bira
Setibanya di Bandara Hasanuddin, kami naik taksi menuju terminal
Malengkeri. Pemesanan taksi terbilang mudah, langsung menuju loket (ada banyak
tapi sepertinya harga yang ditawarkan sama saja). Mereka telah membagi harga
berdasarkan jarak. Menuju Malangkeri: Rp100.000. Di Malangkeri mesti tanya
terlebih dahulu biaya naik angkot (kijang/panter/APV) menuju Tanjung Bira. Ada
yang tawari kami sampai Rp600.000 untuk 4 orang dengan alasan, “Nanti bensin
kami kembali ke Makassar gimana?” Ya urusan lo sih! Huh. Akhirnya kami jalan
terus ke dalam dan di sebelah kanan ada yang kasih kami Rp50.000/orang. Saran
saya: minta kursi tengah. Kami berempat (betul! 4 orang!!) duduk di paling
belakang. Dan dengan ukuran badan 2 pria yang besar-besar ini, perjalanan
sekitar 5-6 jam benar-benar bikin capai jiwa raga.
Kami sampai di Tanjung
Bira (setelah berhenti untuk antar beberapa penumpang dan berhenti sejenak
untuk istirahat) sekitar pukul 6.30 sore. Persis di tugu lumba-lumba. Angin kencang
luar biasa dan yang bikin sedih adalah:
dive operator tutup (dari Januari-maret karena cuaca jelek). Note to self:
sebelum berangkat, PERIKSA waktu terbaik
untuk dive agar tidak alami lagi yang kayak seperti ini. Pantas harga tiket
murah, wong angin kencang tak terkira! Jujur, begitu tiba di sini, ada sedikiiit perasaan kecewa karena pantainya tidak seindah yang saya kira. Karena angin barat, jadi sampah pada bertumpuk di area pantai. Karena belum booking penginapan, kami
singgah ke Nusa Bira Beach. Ketika kami di sini, Tanjung Bira sangatlah sepi.
Kami tidak tahu tempat untuk cari makan
malam, jadi kami berjalan menuju Anda Beach Hotel; naik turun bukit dan pintu
masuk ke dalam hotel pun ditutup dengan palang! Argh! Lapar dan lapar, kami
menuju jalan utama lagi dan lihat di sebelah kiri ada lampu temaram dan tibalah
di Warung Bambu, tempat kami makan malam dua hari ke depan. Isinya lebih banyak
tamu asing dan makanannya nikmat dan murah. Ikan bakar (ukuran JUMBO), udang dan
sayur, hanya habis Rp120.000 – 4 orang. Di sini kami ngobrol dengan Pak Rahman,
salah satu dive guide di dive operator Bira. Setelah cek knot angin dan
sebagainya via internet, ternyata besok masih bisa untuk snorkeling,berangkat
jam 9 pagi. (sewa kapal: Rp500.000 per hari). Yay!
Rabu, 23 Januari 2013
Tanjung Bira-Pulau
Kambing - Pulau Liukang (Liukang Loe)
Setelah sarapan, Pak Rahman datang ke hotel untuk jemput kami satu per
satu. Yup, kapal tidak bisa berlabuh di pantai dekat si lumba-lumba, jadi kami
harus menuju ke pelabuhan tempat kapal berangkat menuju Pulau Selayar. Tepat
pukul 10 pagi kami berangkat! Cuaca terbilang berangin dan perjalanan menuju
Pulau Kambing termasuk yang paling parah selama saya seumur-umur naik kapal.
Banting setir kiri dan kanan untuk hindari ombak! Setelah sekitar 40 menit,
angin di Pulau Kambing masih membuat ombak menari. Tapi saya benar-benar sudah
tidak sabar untuk segera snorkeling! Ikannya tidak terlalu banyak, tapi saya
bertemu seekor penyu. Haha. Saya tidak berani snorkeling telalu jauh dari kapal
karena ombak yang kencang, jadi hanya sekitaran satu pinggir pulau saja.
Selanjutnya kami ke Pulau Liukang (Liukang Loe). Di sana, matahari sudah mulai terik dan air terbilang cukup tenang. Tidak terlalu dalam jadi ikan-ikan kecil tampak begitu dekat dengan dasar pasir yang terlihat jelas. Sekitar pukul 1 siang, kami ke Pulau Liukang untuk makan siang. Sudah dibantu oleh temannya Pak Rahman yang sediakan kami ikan kakap merah, satu orang satu ikan dan habis ludes dengan lezatnya. Karena ikannya begitu segar, jadi rasa dagingnya itu manis dan gurih, meski cuma dibakar biasa dengan serabut kelapa. Di sini kami ngobrol dengan si pemilik rumah makan dan ternyata kebanyakan orang asing alias bule yang di Warung Bambu itu adalah pembeli kapal phinisi. Sorenya kami mampir di pinggir Tanjung Bira untuk snorkeling sebentar. Di sini coralnya kebanyakan warna maroon, lucu ya. Dia mengelompok membentuk wananya sendiri; sekelompok sana hijau, sekelompok sini merah. Indah!
Selanjutnya kami ke Pulau Liukang (Liukang Loe). Di sana, matahari sudah mulai terik dan air terbilang cukup tenang. Tidak terlalu dalam jadi ikan-ikan kecil tampak begitu dekat dengan dasar pasir yang terlihat jelas. Sekitar pukul 1 siang, kami ke Pulau Liukang untuk makan siang. Sudah dibantu oleh temannya Pak Rahman yang sediakan kami ikan kakap merah, satu orang satu ikan dan habis ludes dengan lezatnya. Karena ikannya begitu segar, jadi rasa dagingnya itu manis dan gurih, meski cuma dibakar biasa dengan serabut kelapa. Di sini kami ngobrol dengan si pemilik rumah makan dan ternyata kebanyakan orang asing alias bule yang di Warung Bambu itu adalah pembeli kapal phinisi. Sorenya kami mampir di pinggir Tanjung Bira untuk snorkeling sebentar. Di sini coralnya kebanyakan warna maroon, lucu ya. Dia mengelompok membentuk wananya sendiri; sekelompok sana hijau, sekelompok sini merah. Indah!
Kamis, 24 januari 2013
Tanjung Bira-Amma Toa (Suku Kajang)
Kebetulan suami punya seorang teman yang bekerja di Bulukumba dan stafnya
bantu untuk setir mobil yang kami sewa. Karena penduduk lokal, jadi dia tahu arah menuju Amma
Toa (Kajang), salah satu suku pedalaman di Bulukumba. Di sini semua
menggunakan pakaian hitam seperti Suku Badui. Perjalanan dari Tanjung
Bira ke Amma Toa memakan waktu sekitar 1,5 jam. Semua tamu yang datang mesti
menggunakan pakaian warna hitam (setidaknya warna gelap), PANTANG warna merah!
Suku ini terbagi dua, ada yang bagian luar dan dalam. Lucunya, yang setir mobil
kami awalnya tidak ingin ikut masuk dan pilih untuk berada di mobil. Ternyata
sebegitu “kuat” nama Kajang ini bagi penduduk lokal karena “ilmu” mereka. Di depan kawasan, kami bertemu dengan seorang anak
SMP dan dia yang akhirnya bantu kami ke dalam untuk bertemu kepala suku.
Suku Kajang semua tidak menggunakan alat listrik untuk hidup dan benar benar menyatu dengan alam. Tidak boleh eksploitasi hutan dan memanfaatkan kekayaan alam secara maksimal. Bahkan, untuk buah pun mereka hanya boleh menyantap yang benar-benar sudah jatuh ke tanah! Sayangnya, kepala suku tidak ada karena sedang hadiri sebuah pemakaman, jadi kami bertemu seseorang yang juga dituakan untuk meminta izin kedatangan kami. Beliau mungkin sudah sekitar 70 tahun, menggunakan pakaian hitam dan duduk di rumahnya yang berbentuk panggung. Saat ngobrol, kami tidak boleh ambil foto sedikit pun. Rumah adat ini terbilang unik, karena begitu masuk, kita langsung disambut oleh dapur di sisi kiri pintu masuk; ada tangga di dekatnya sebagai jalan menuju ke atap tempat menyimpan makanan. Untuk kamar tidurnya pun dibagi menjadi dua: pria dan wanita dengan simbol-simbol di batang kayunya. Kami tidak bisa berbicara lama karena si anak ini harus pergi sekolah. Jadi perjalanan kami hanya sampai situ saja. Oh iya, dia ajak kami sebentar menuju ke area pemakaman. Jumlah batu di sekeliling tempat yang dikubur adalah penanda jenis kelamin: kalau tidak salah ingat, wanita 6 buah sedangkan pria 5 buah batu. Sedangkan untuk batu nisannya sendiri juga penanda tingkatan orang tersebut; makin menjulang batunya, makin dihormati dia semasa hidupnya.
Pulangnya, kami mampir ke Tanah Beru, Bonto Bahari untuk lihat desa tempat pembuatan kapal phinisi. Saat itu sudah pukul 5.30 sore jadi tidak ada aktivitas apapun di sana. Kami hanya sempatkan waktu sejenak untuk lihat matahari tengelam di pinggir pantai. Mengenai angin, jangan ditanya. Kencangnya luar biasa!
Malamnya, kami pilih untuk makan ke Salassa Guest House, hanya beberapa meter dari Warung Bambu. Saya ingat guest house ini dari internet, tersohor karena keramahtamahan dan kelezatan makananya. Dan benar saja, pasangan yang mengelola, khususnya sang istri, benar-benar baik. Kami ngobrol dan astaga, makanannya luar biasa lezat! Aduh, hingga kini masih terbayang kenikmatan ikan baracuda yang kami santap. Ini malam terakhir kami di Tanjung Bira. Besok, siap berangkat untuk jelajahi Makassar!
Suku Kajang semua tidak menggunakan alat listrik untuk hidup dan benar benar menyatu dengan alam. Tidak boleh eksploitasi hutan dan memanfaatkan kekayaan alam secara maksimal. Bahkan, untuk buah pun mereka hanya boleh menyantap yang benar-benar sudah jatuh ke tanah! Sayangnya, kepala suku tidak ada karena sedang hadiri sebuah pemakaman, jadi kami bertemu seseorang yang juga dituakan untuk meminta izin kedatangan kami. Beliau mungkin sudah sekitar 70 tahun, menggunakan pakaian hitam dan duduk di rumahnya yang berbentuk panggung. Saat ngobrol, kami tidak boleh ambil foto sedikit pun. Rumah adat ini terbilang unik, karena begitu masuk, kita langsung disambut oleh dapur di sisi kiri pintu masuk; ada tangga di dekatnya sebagai jalan menuju ke atap tempat menyimpan makanan. Untuk kamar tidurnya pun dibagi menjadi dua: pria dan wanita dengan simbol-simbol di batang kayunya. Kami tidak bisa berbicara lama karena si anak ini harus pergi sekolah. Jadi perjalanan kami hanya sampai situ saja. Oh iya, dia ajak kami sebentar menuju ke area pemakaman. Jumlah batu di sekeliling tempat yang dikubur adalah penanda jenis kelamin: kalau tidak salah ingat, wanita 6 buah sedangkan pria 5 buah batu. Sedangkan untuk batu nisannya sendiri juga penanda tingkatan orang tersebut; makin menjulang batunya, makin dihormati dia semasa hidupnya.
Pulangnya, kami mampir ke Tanah Beru, Bonto Bahari untuk lihat desa tempat pembuatan kapal phinisi. Saat itu sudah pukul 5.30 sore jadi tidak ada aktivitas apapun di sana. Kami hanya sempatkan waktu sejenak untuk lihat matahari tengelam di pinggir pantai. Mengenai angin, jangan ditanya. Kencangnya luar biasa!
Malamnya, kami pilih untuk makan ke Salassa Guest House, hanya beberapa meter dari Warung Bambu. Saya ingat guest house ini dari internet, tersohor karena keramahtamahan dan kelezatan makananya. Dan benar saja, pasangan yang mengelola, khususnya sang istri, benar-benar baik. Kami ngobrol dan astaga, makanannya luar biasa lezat! Aduh, hingga kini masih terbayang kenikmatan ikan baracuda yang kami santap. Ini malam terakhir kami di Tanjung Bira. Besok, siap berangkat untuk jelajahi Makassar!
Pantai ini memang lebih bagus dan menarik dibandingkan dengan pantai losari yang hanya seperti ancol. Sekedar info buat mbak galuh kalau mau main2 di makassar bisa ke kampung popsa di daerah pantai losari, makan palubasa di daerah antang, konro bakar di daerah karebosi, ada juga saraba, mall nya hanya di panakkukang, tersedia Carefour, Hypermart dan Lotte, penginapan atau hotel ada di daerah adhiyaksa, boulevard, boleh kalau agak2 dingin main ke daerah sudiang.
ReplyDeleteLooks amazing! We must go there one day.
ReplyDeletembak klo januari cuaca di tanjung bira cerah atau bnyk hujannya? sy mau ksana bulan januari 2014, THX
ReplyDeleteNah itu, aku pas ke sana januari 2013 akhir, cuacanya lagi berantakan banget, ombak tinggi, dll. Kalo temen pas Januari awal, cuacanya masih mendingan. Kamu berencana snorkeling/diving? ini aku ada nomor telepon bapak yg sewain kapal, oke dia. Pake speed boat ke Kambing.
DeleteSy ud beli tiket promo citilink 11-14 jan 2014 hehe tp pengen banget ke tj.bira T_T
DeleteRencana saya sih snorkelling aja, boleh deh mbak nomornya buat referensi
Boleh share kontak penyewaan kapal buat nyebrang ke liukang ngga mb ? Thx
ReplyDelete