Tanjung Bira - Desa Ara - Mandala
Ria - Makassar
Karena banyak rencana yang batal ketika di Tanjung Bira, kami langsung bikin itinerary dadakan. Salah satunya adalah sambangi Desa
Ara dan berkunjung ke Pantai Mandala Ria. Desa Ara ini tidak terlalu jauh dari
Tanjung Bira, sekitar 20 menit. Rumah panggung yang khas menyambut dan satu
yang bikin deg-degan adalah perjalanan menuju pantai Mandala Ria (inget taman ria, jadinya). Terjal, Berliuk, curam,
dan rusak. Ada kalanya ingin memutar balik mobil ketimbang turun!
Dengan pelan tapi pasti, kami akhirnya sampai dengan selamat! Seperti dugaan, tidak ada siapa-siapa di sini kecuali para pembuat kapal Phinisi. Mereka sedang asyik memukul gadam untuk bikin kapal lengendaris ini! Pantainya indah, air jernih, ah, asli ingin banget langsung berenang! Tapi karena dalam perjalanan menuju Makassar dan tidak ada tempat memadai untuk ganti baju, saya hanya bisa merajuk di pinggir pantai dengan tatapan iri. Konon kabarnya dalam pembuatan Phinisi harus ada 3 unsur ini: nahkoda dari Bira, dibuat oleh Tanah Beru dan didoakan oleh Ara. Ada cerita seorang pria asing tidak ingin memenuhi ini dan bersikukuh phinisi yang ia beli langsung menuju Surabaya. Dan begitu sampai di sana, tanpa ada alasan yang jelas, kapalnya tenggelam.
Dengan pelan tapi pasti, kami akhirnya sampai dengan selamat! Seperti dugaan, tidak ada siapa-siapa di sini kecuali para pembuat kapal Phinisi. Mereka sedang asyik memukul gadam untuk bikin kapal lengendaris ini! Pantainya indah, air jernih, ah, asli ingin banget langsung berenang! Tapi karena dalam perjalanan menuju Makassar dan tidak ada tempat memadai untuk ganti baju, saya hanya bisa merajuk di pinggir pantai dengan tatapan iri. Konon kabarnya dalam pembuatan Phinisi harus ada 3 unsur ini: nahkoda dari Bira, dibuat oleh Tanah Beru dan didoakan oleh Ara. Ada cerita seorang pria asing tidak ingin memenuhi ini dan bersikukuh phinisi yang ia beli langsung menuju Surabaya. Dan begitu sampai di sana, tanpa ada alasan yang jelas, kapalnya tenggelam.
Makan sore dan kami pun
lanjut ke Makassar. Sempat hujan dan jalanan rusak memang bikin perjalanan
lebih lama. Kami sampai sekitar pukul 9 malam dan menginap di Grand Populer Hotel. Tak jauh dari situ, kami puaskan perut
untuk icip mi titi. Setelah
itu, kami jalan kaki menuju Pantai Losari dan menikmati kota Makassar di waktu
malam. Ternyata dari area hotel menuju pusat kota (area benteng Fort Rotterdam)
sangat dekat. Pulangnya? Minum es kelapa!
Sabtu, 26 Januari 2013
Makassar – Rammang-rammang,
Maros
Tempat ini sama sekali tidak ada di agenda kami dan ternyata jadi obyek
yang paling berkesan. Namanya Rammang-rammang, hanya sekitar satu jam setelah
lewat tol menuju bandara Hasanuddin. Patokan untuk sampai di sini adalah pertigaan
menuju pabrik Semen Bosowa. Ikuti jalan dan perhatikan di sebelah kiri ada
gapura dengan tulisan Rammang-rammang. Sambil menelusuri jalan menuju dermaga, batu-batu kars itu akhirnya bermunculan. Cantik sekali.
Menghampar indah dengan beragam bentuk
persis di belakang bentangan padi. Bebatuan ini konon kabarnya hanya ada di
China, Ha Long Vietnam dan di Maros ini. Jalanan semakin sempit dan mobil
harus berjuang untuk tiba sampai ke dermaga. Apalagi "dibantu" dengan hujan semalam yang bikin jalanan jadi berlumpur. Sekitar 1,5 km kemudian, kami tiba di
dermaga.
Di sana ada tiga cowok (tampilannya anak pencinta alam) yang sedang
menunggu temannya yang masih di kapal. Benar-benar pemandangan serba biru
kemarin tergantikan dengan rona hijau sehijau-hijaunya warna hijau (kalau ada
istilah itu, ya inilah bukti nyatanya!). Persis di dekat dermaga ada sebuah
warung dan pemiliknya bilang, biasanya
yang mau datang bisa berbicara dengan ketua RT karena dia memiliki kapal besar. Sedangkan yang sedang dioperasikan ini kecil, hanya muat 5 orang
(termasuk 2 dari mereka). Apa mau dikata, karena tidak direncanakan, kami pun
mesti sabar menunggu si kapal. Dan begitu tiba, kami negosiasi harga dengan si
pemilik yang mengajak kami menuju ke dalam Rammang-rammang (sekitar Rp200 ribu
untuk 2x jalan pp). Pelan-pelan menelusuri sungai dengan air yang jaraknya
hanya beberapa centimeter saja dari bibir kayu kapal. deretan Pohon Nipah
menemani. Kami masuk di antara dua celah batu besar dan tibalah kami.
Di sini, rumah-rumah yang ada hanya dikelilingi oleh bukit-bukit tinggi, tanpa
listrik, tanpa kebisingan. Tenang, damai, ditemani nuansa hijau, Si
pemilik kapal bilang sebenarnya bisa menginap di rumah penduduk dan
merasakan hidup sebagai lokal. Saya lihat ada beberapa anak mahasiswa yang
melakukannya. Mereka berbicara di sebuah rumah yang cukup jauh dari tempat saya
berada dan suaranya masih terdengar sayup! Sesepi dan setenang itulah tempat
ini. Sang pemilik kapal juga bilang, dengan sedikit berjalan, kami dapat
melihat semacam batu yang dindingnya menyerupai Candi Borobudur. Penasaran, kami pun terima tantangannya. Perjalanan terjal, napas ngos-ngosan, karena yang
kami daki ini bukan tanah, melainkan BEBATUAN. Jelas dibutuhkan sepatu yang
tepat untuk ke sini. Melewati sungai dan batang pohon sebagai jembatan kami
sampai di bagian tengah salah satu bukit. Pendangan dari atas sini lebih
menakjubkan lagi. Karena bukan penggemar pengunungan, jadi terbilang hebat
karena bisa berada di sini. Kaki pegal pun terbayarkan!
Makassar – Jakarta
Hari terakhir tentu saja ditutup dengan belanja oleh-oleh di Somba Opu.
Satu jalan layaknya Braga dan diisi oleh toko-toko penjual sunvenir kain,
makanan, hingga jam tua. Jam 5 sore kami kembali ke Jakarta. Beres deh, liburan
kami ini!
ga sengaja nyasar ke sini. Salam kenal mba. Lain kali ke makassar lagi ya... :D
ReplyDeletesalam kenal jugaa.. siappp, pengen makan seafood-nya lagi :)
ReplyDeleteKeren mba, directionnya jelas
ReplyDelete