Tuesday, April 9, 2013

Seru-seruan di Sulawesi Selatan: Mandala Ria - Makassar - Rammang-rammang


Jumat, 25 Januari 2013
Tanjung Bira - Desa Ara - Mandala Ria - Makassar
Karena banyak rencana yang batal ketika di Tanjung Bira, kami langsung bikin itinerary dadakan. Salah satunya adalah sambangi Desa Ara dan berkunjung ke Pantai Mandala Ria. Desa Ara ini tidak terlalu jauh dari Tanjung Bira, sekitar 20 menit. Rumah panggung yang khas menyambut dan satu yang bikin deg-degan adalah perjalanan menuju pantai Mandala Ria (inget taman ria, jadinya). Terjal, Berliuk, curam, dan rusak. Ada kalanya ingin memutar balik mobil ketimbang turun! 


Dengan pelan tapi pasti, kami akhirnya sampai dengan selamat! Seperti dugaan, tidak ada siapa-siapa di sini kecuali para pembuat kapal Phinisi. Mereka sedang asyik memukul gadam untuk bikin kapal lengendaris ini! Pantainya indah, air jernih, ah, asli ingin banget langsung berenang! Tapi karena dalam perjalanan menuju Makassar dan tidak ada tempat memadai untuk ganti baju, saya hanya bisa merajuk di pinggir pantai dengan tatapan iri. Konon kabarnya dalam pembuatan Phinisi harus ada 3 unsur ini: nahkoda dari Bira, dibuat oleh Tanah Beru dan didoakan oleh Ara. Ada cerita seorang pria asing tidak ingin memenuhi ini dan bersikukuh phinisi yang ia beli langsung menuju Surabaya. Dan begitu sampai di sana, tanpa ada alasan yang jelas, kapalnya tenggelam.

 
 

Makan sore dan kami pun lanjut ke Makassar. Sempat hujan dan jalanan rusak memang bikin perjalanan lebih lama. Kami sampai sekitar pukul 9 malam dan menginap di Grand Populer Hotel. Tak jauh dari situ, kami puaskan perut  untuk icip mi titi. Setelah itu, kami jalan kaki menuju Pantai Losari dan menikmati kota Makassar di waktu malam. Ternyata dari area hotel menuju pusat kota (area benteng Fort Rotterdam) sangat dekat. Pulangnya? Minum es kelapa!











Sabtu, 26 Januari 2013  
Makassar – Rammang-rammang, Maros
Tempat ini sama sekali tidak ada di agenda kami dan ternyata jadi obyek yang paling berkesan. Namanya Rammang-rammang, hanya sekitar satu jam setelah lewat tol menuju bandara Hasanuddin. Patokan untuk sampai di sini adalah pertigaan menuju pabrik Semen Bosowa. Ikuti jalan dan perhatikan di sebelah kiri ada gapura dengan tulisan Rammang-rammang. Sambil menelusuri jalan menuju dermaga, batu-batu kars itu akhirnya bermunculan. Cantik sekali. Menghampar indah dengan  beragam bentuk persis di belakang bentangan padi. Bebatuan ini konon kabarnya hanya ada di China, Ha Long Vietnam dan di Maros ini. Jalanan  semakin sempit dan mobil harus berjuang untuk tiba sampai ke dermaga. Apalagi "dibantu" dengan hujan semalam yang bikin jalanan jadi berlumpur. Sekitar 1,5 km kemudian, kami tiba di dermaga. 

 
 

Di sana ada tiga cowok (tampilannya anak pencinta alam) yang sedang menunggu temannya yang masih di kapal. Benar-benar pemandangan serba biru kemarin tergantikan dengan rona hijau sehijau-hijaunya warna hijau (kalau ada istilah itu, ya inilah bukti nyatanya!). Persis di dekat dermaga ada sebuah warung dan pemiliknya bilang, biasanya yang mau datang bisa berbicara dengan ketua RT karena dia memiliki kapal besar. Sedangkan yang sedang dioperasikan ini kecil, hanya muat 5 orang (termasuk 2 dari mereka). Apa mau dikata, karena tidak direncanakan, kami pun mesti sabar menunggu si kapal. Dan begitu tiba, kami negosiasi harga dengan si pemilik yang mengajak kami menuju ke dalam Rammang-rammang (sekitar Rp200 ribu untuk 2x jalan pp). Pelan-pelan menelusuri sungai dengan air yang jaraknya hanya beberapa centimeter saja dari bibir kayu kapal. deretan Pohon Nipah menemani. Kami masuk di antara dua celah batu besar dan tibalah kami. 

         

Di sini, rumah-rumah yang ada hanya dikelilingi oleh bukit-bukit tinggi, tanpa listrik, tanpa kebisingan. Tenang, damai, ditemani nuansa hijau, Si pemilik kapal bilang sebenarnya bisa menginap di rumah penduduk dan merasakan hidup sebagai lokal. Saya lihat ada beberapa anak mahasiswa yang melakukannya. Mereka berbicara di sebuah rumah yang cukup jauh dari tempat saya berada dan suaranya masih terdengar sayup! Sesepi dan setenang itulah tempat ini. Sang pemilik kapal juga bilang, dengan sedikit berjalan, kami dapat melihat semacam batu yang dindingnya menyerupai Candi Borobudur. Penasaran, kami pun terima tantangannya. Perjalanan terjal, napas ngos-ngosan, karena yang kami daki ini bukan tanah, melainkan BEBATUAN. Jelas dibutuhkan sepatu yang tepat untuk ke sini. Melewati sungai dan batang pohon sebagai jembatan kami sampai di bagian tengah salah satu bukit. Pendangan dari atas sini lebih menakjubkan lagi. Karena bukan penggemar pengunungan, jadi terbilang hebat karena bisa berada di sini. Kaki pegal pun terbayarkan!

  

Minggu, 27 januari 2013
Makassar – Jakarta
Hari terakhir tentu saja ditutup dengan belanja oleh-oleh di Somba Opu. Satu jalan layaknya Braga dan diisi oleh toko-toko penjual sunvenir kain, makanan, hingga jam tua. Jam 5 sore kami kembali ke Jakarta. Beres deh, liburan kami ini!


3 comments:

  1. ga sengaja nyasar ke sini. Salam kenal mba. Lain kali ke makassar lagi ya... :D

    ReplyDelete
  2. salam kenal jugaa.. siappp, pengen makan seafood-nya lagi :)

    ReplyDelete
  3. Keren mba, directionnya jelas

    ReplyDelete